LEBIH DEKAT DENGAN MBAH TANU

TRAH MBAH TANU

Br. B. Sukasta, MTB

Tanurejo, nama keluarga baru dari pasangan “Plasidus Tukimo” dan “Wihelmina Tukinem”. Pemuda Tukimo, berasal dari dukuh Semagung. Sedangkan gadis Tukinem dari dukuh Kajoran.

Demikian pasangan tempo doeloe, mengambil nama baru setelah menerima Sakramen Perkawinan.

Di kalangan masyarakat setempat terkenal dengan nama pak Tanu Semagung. Sedangkan warga Semagung menyebutnya pak War, sesuai dengan nama anak sulungnya, Warsini.

Tukimo adalah bungsu dari enam bersaudara putra dari mbah Kertowikromo. Beliau adalah mbah Suro, tinggal di Kajoran Gendol, kami memanggilnya mbah Suro Gendol. Yang kedua mbah Joyo, tinggal di Sumatra, kemudian mbah Pawiro tinggal di Baturaja, Sumatra, yang ke empat mbah Kartoinangun, dan  mbah Tirtosumarto, beliau ini seorang bruder Ordo Jesuit, kami menyebutnya Br. Tirto, SJ, rumah abadinya di Girisonta.  Br. Tirto sering berkunjung ke rumah saudara-saudaranya, mengenakan jubah putih. Kami anak-anak mbah Tanu dekat dengan beliau, merogoh saku jubah mencari oleh-oleh. Dari saku sebelah dikeluarkan satu atau dua gula-gula dan bilang :”iki oleh-olehe”, dan yang terakhir mbah Tanu kakung. Sedangkan mbah Tanu putri juga enam bersaudara, anak dari mbah Tomo yang tinggal di Kajoran. Kami menyebutnya mbah Tomo Kajoran. Beliau-beliau adalah mbah Dwijosiswoyo, di kaliduren, mbah Pujosumarto, tinggal di Purworejo, mbah Tanurejo putri, mbah Pratomowasito, di Kajoran, mbah Martodarmo, di Semagung dan mbah Kirjowasito tinggal di Kebonagung. Putrannya mbah Tomo ini sebagian besar menjadi guru, kecuali mbah Tanu putri dan mbah Martodarmo. Pernah pada suatu Ketika aku tanya pada mbah Tanu putri : “mbok, bu de, pak Lik dan bu Lik, pada dadi guru, simbok kok ora”. Mbah Tanu putri menanggapi dengan menjawab : “aku ra iso mulang”.

Rejo

Plasidus Tukimo, berperawakan tinggi, sedangkan Wihelmina Tukinem langsing semampai. Kalau boleh membandingkan, sosok mbah Tanu kakung mirip Hendro Nursito, putra ketiga dari keluarga T. Warsito. Sedangkan mbah Tanu putri, mirip-mirip Trimuryanti, anak ketujuh dari mbah Tanu.

Sesuai dengan ‘nama’, keluarga baru tersebut berpengharapan hidupnya menjadi ‘Rejo’. Dalam bahasa Jawa, ‘Rejo’ memiliki arti rame, subur, makmur dan sejahtera. Dalam ranah pewayangan nama ‘Rejo’ merupakan sosok yang setia, welas asih dan penyayang. Seperti misalnya Ontorejo, salah satu nama tokoh dunia pewayangan. Dengan nama Tanurejo, mbah Tanu, berharap lebih percaya diri, bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, dan hidupnya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Menurut studi ‘cocokkologi’, konon dengan nama rejo’ sesorang diharapkan berkepribadian positif, memiliki hati, ekspresif, mudah berbicara, terbuka dalam bersosialisasi, memiliki rasa seni dan mampu menikmati hidup, selalu dalam lindungan Tuhan. Secara pribadi, aku memiliki keyakinan bahwa ‘cita-cita’ mbah Tanu muda waktu 'doeloe', akan mewujud dalam diri anak, cucu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak senthe, debog bosok, galih asem. Berani menghadapi tantangan hidup, Tangguh, Sukses, bermartabat, bermakna dan membawa berkat bagi sesama. Sehat Bahagia Sejahtera.

Hunian di lereng bukit.

Kajoran dan Semagung adalah dua dukuh bertetangga. Keduanya terletak di perbukitan Menoreh, Kelurahan Banjar Oyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Kedua lokasi tersebut berdekatan dengan tempat Peziarahan Gua Maria Sendangsono. Dikutip dari beberapa tulisan; Gua Maria itu dibangun pada tahun 1927 sampai 1929. Sendangsono, dari kata ‘sendang’ dan kata ‘sono’. Sendang adalah sumber air dan sono nama pohon. Sumber air di bawah pohon sono. Di masa lalu penduduk di wilayah itu mengandalkan konsumsi air dari sumber air Sendang sono. Dengan menggendong 'klenting' simbok-simbok mengambil air di Sendangsono, pada pagi atau sore hari. Sambil mengambil air, simbok-simbok “awak-awak”, istilah untuk mandi setengah badan. Salah satu cara menghemat air. Sedangkan anak-anak lebih banyak mandi di kedung/sungai, sambil berenang atau memancing.

Sumber air Sendangsono, tetap ada meski pada musim kemarau yang lamanya dapat mencapai enam bulan, kadang lebih. Sampai sekarang sumber air tersebut masih ada. Para peziarah mengambil air dari sumber tersebut, disimpan dalam botol, kemudian diletakkan di depan "Patung Bunda Maria", agar memperoleh berkat dari Tuhan melalui Bunda Maria.

Di lereng-lereng bukit sekitar Sendangsono, terdapat sejumlah pemukiman yang sejak lama sudah ada, minimal ada tujuh dukuh terletak sebelah menyebelah lereng yang mengitari wilayah Sendangsono; seperti misalnya; Semagung, Kajoran, Kalisentul, Tuksongo, Ploso, Promasan. Munggang Pelem. Sedang di bukit sebelah  terdapat pula pemukiman, dengan Suroloyo sebagai puncak bukitnya. Pemukiman itu seperti; Dlinseng, Plengan, Duren Sawit, Pranggen, Kenalan, Madigondo, Kerug.

Keluarga petani.

Sebagian besar penduduk di lereng perbukitan bermatapencaharian sebagai petani tradisional. Lelaki dan perempuan mengolah tanah tegalan dengan membuat terasering mengikuti kontur tanah. Mencangkul dengan kekuatan penuh, menata batu-batu yang diperoleh dari mencangkul, di lereng pada setiap 'undagan tegal'.  Membuat lubang – lubang tanam, pada bagian tanah yang rata, mengisi setiap lubang dengan pupuk kandang, dan menutupnya kembali dengan tanah. Pekerjaan yang tergolong terberat dalam mempersiapkan lahan tanam ini dilakukan selama musim kemarau. Pada musim yang panas dan panjang itu pulalah petani yang memiliki tanaman ubikayu, membuat gaplek. Segera setelah hujan pertama tercurah, pada esok harinya, bapak simbok dan anak-anak menuju ke 'tegalan'  untuk mengisi lubang-lubang tersebut dengan beberapa butir benih jagung. Di antara tamanan jagung ditancapkan pula potongan batang-batang ubi kayu. Musim tanam tiba.

Demikianlah pekerjaan mbah Tanu kakung dan mbah Tanu Putri. Bertani. Pagi segera setelah ayam Jantan berkokok, mbah putri bangun untuk ‘nggodog wedang’ / merebus air. Mbah Tanu mempunyai kebiasaan minum teh pagi, tidak ada sarapan, sebelum berangkat menuju alas (tegalan). Kalau kebetulan mbah putri ke pasar; pada hari-hari pasaran, mbah Tanu kakung, merebusnya sendiri, atau membangunkan kami anak-anaknya.

Dengan menjinjing keranjang berisi pupuk kandang di atas kepala, mbah Tanu kakung menuju ladang. Atau kalau mbah putri menggendongnya. Pada waktu liburan anak-anak membantu pekerjaan dengan menjinjing pupuk atau menggendongnya dalam ‘tenggok’  jika ia perempuan. Mereka menelusuri tebing-tebing yang kemiringannya bervariasi. Tegal paling jauh milik mbah Tanu di Nglarangan, persis di puncak bukit. Dari tempat itu, terlihat samar-samar panorama indah di ujung timur; gunung Merapi dan Merbabu, kota Muntilan, Borobudur dan Jogjakarta. Untuk menuju tegal Nglarangan perlu hati-hati, jalannya terjal dan sempit, melewati tegalan tetangga yang tidak boleh diganggu gugat. Tengah hari pulang ke rumah dengan membawa ‘pakan kambing atau sapi’. Mbah Tanu memelihara beberapa ekor kambing dan satu atau dua ekor sapi. Ternak, baik kambing atau sapi diperlukan para petani di Semagung, terutama karena menghasilkan pupuk kandang yang sangat diperlukan untuk tanaman jagung, ubi kayu, lombok/cabai, dan tanaman lain di ladang. Kambing juga dibutuhkan untuk memenuhi keperluan - keperluan mendesak. Seperti pernah terjadi mbah Tanu menuntun seekor anak kambing ke pasar, karena aku memerlukan celana panjang. Kambing muda yang belum keluar tanduknya itu dicegat dan langsung dibayari oleh ‘bakul’ ; -  istilah seseorang yang membeli sesuatu untuk dijual kembali, - yang ada di wilayah itu, sebelum sampai ke pasar Klangon. Mbah Tanu Kembali ke rumah dan aku meneruskan perjalanan ke Muntilan dengan hasil penjualan kambing, mencari celana panjang dan keperluan sekolah di SPG Van Lith.

Jalan pulang dari Nglarangan ke rumah lebih rumit, turun terjal, licin dan perlu perhitungan dalam meletakkan telapak kaki agar tidak terpeleset dan terperosok kemudian terguling ke bawah. Apalagi kalau membawa beban yang tidak ringan, seperti rumput, kayu bakar, ubi kayu, kelapa, gori atau gaplek. Penghuni baru harus sangat hati-hati. Hal itu dialami oleh mbak Tony, istri Kang To saat baru tinggal di Semagung. :’Kedua kaki semutan”, kenangnya. Bukit, lembah, jalan sempit licin dan berundak ini pula yang menjadi kekuatiran mbakyu Tony. “Mampukah mbakyumu ini, hidup dengan keadaan ini”, demikian mbakyu bilang padaku suatu kali. “Tapi mbakmu ini percaya bahwa Tuhan pasti menjaga”, imbuhnya. “Melalui 'Kanjeng Ibu', Sendang , mbakyu selalu mohon kekuatan”, terangnya.

Naik turun di jalan berliku, dilakukan mbah Tanu, pada pagi dan sore setiap hari. Konon jamannya simbah-simbah ketika masih muda tempo doeloe, pergi ke Muntilan membawa barang jualan jenis arang kayu, atau kayu bakar juga dilakukan dengan jalan kaki. Sedangkan mulai jamanku, membawa kayu bakar, ubi kayu, gori atau jualan lain cukup sampai di Klangon, Jagalan atau Bendo,  pada hari-hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi  atau Pahing).

Demikian kehidupan mereka yang tinggal di wilayah perbukitan Menoreh. Kebiasaan berjalan kaki menjadikan mereka kuat berjalan, jari-jari kaki kuat mengcengkeram tanah, terutama pada musin hujan. Akibatnya memang sangat terasa;  selain kaki menjadi kuat, namun agak repot kalau harus mengenakan sepatu, karena jari-jari kaki melebar.

Mbah Tanu Yang Peduli.

Mbah Tanu kakung, seingatku pernah menjadi guru agama di daerah Madigondo. Tetapi tidak lama dijalaninya.  Ia fokuskan diri menjadi petani. Pernah mencoba menanam padi gogo, tidak diteruskan karena hasilnya tidak memuaskan. Hampir semua tegal yang dimiliki ditanami ubi kayu, jagung, atau umbi-umbian lain pada musimnya. Tidak heran, meskipun kemarau panjang, persediaan makanan tetap ada. Makanan utama masyarakat di perbukitan Menoreh adalah jagung dan ubi kayu, musim kemarau lebih beraneka lagi, seperti uwi, gembili, kimpul/talas/keladi, suweg. 

Mbah Tanu, sangat peduli pada anak-anaknya. ketujuh anak mbah Tanu diwajibkan sekolah. Meskipun penghasilan sebagai petani tidak menentu, namun keenam anaknya tamat sekolah  lanjutan atas. Kecuali mbakyu Warsini, adik-adik mbakyu tamat  SGA atau SPG. Mbakyu membantu simbok mencari biaya sekolah untuk   kami, adik-adiknya. 

Dengan bersekolah di SGA atau SPG, orang tua berharap kepada anak-anaknya akan segera memperoleh pekerjaan sebagai guru, setelah tamat. Perhitungan orang tua praktis saja, karena biaya tidak terlalu besar mungkin. Saya sendiri sekolah di SPG Van Lith, gratis. Baik asrama maupun sekolahnya.  Dari Semagung dan sekitarnya banyak yang kemudian menjadi guru di kota. Demikian juga anak-anak mbah Tanu, menjadi guru diberbagai tempatl; di Serang, Jawa Barat, Sidoarjo, Jawa Timur, Jogjakarta, Wonosobo, Kediri, Jawa timur dan Pontianak, Kalimantan Barat.

Masa – masa sekolah seperti yang aku alami di Purworejo   bersama 'kakang-kakangku'; Kang Su dan kang To, menurutku perlu diceritakan secara khusus, terutama ketika aku bersama kang To, satu pondokan. Tinggal  di rumah seorang ibu yang berhati mulia. Kang Su dan kang To saat itu sekolah di SPG Bruderan Purworejo, sedang aku di SMP Bruderannya.. Sekolah itu milik para bruder Karitas. Awal kedatanganku di Purworeja tinggal di rumah pak De Poejo. Bu de adalah mbakyu dari simbok Tanu. Beliau pak De dan  bu de, seorang guru. Bu Poejo memiliki tiga putra, satu putri; mbak Uwik aku memanggilnya; mas Wik dan mas Bambang. 

Paskalis Pardiyanto, adikku itu SPG di Van Lith. Dik Mur SPG Albertus Padon Klepu dan dik Tri di Sekolah Guru Ambarawa.

Kepedulian mbah Tanu kakung juga Nampak saat tamu - tamu peziarah Gua maria Sendangsono, yang datang ke rumah. Ada seorang tamu yang rutin datang dari daerah Gombong, mbah Tanu kakung setia mendengarkan keluh kesahnya. Tamu special ini tetap datang meski rumah mbah Tanu pindah tempat, jauh dari tempat semula. Perlu diketahui bahwa rumah mbah Tanu telah dua kali pindah. Semula di lokasi yang sekarang ditempati, pak Sukirdi, cucu dari mbah Kartoinangun. Kemudian pindah ke Cikalan. Di tempat yang ke dua ini, pemenuhan keperluan air minum menjadi repot, sebab lokasi itu jauh dari sumber air Sendangsono, sekali ambil air di sendang sampai rumah sudah bercucuran keringat.  Jarak jauh dan jalanan menanjak saat pulang. Karena kendala serius ini, mbah Tanu kemudian memindahkan rumahnya ke Sliling. Rumah yang sekarang ditinggali oleh keluarga Kang Sito.  Bagaimana orang kampung memindahkan rumah perlu diceritakan tersendiri, lain kesempatan.

'Ngalap Berkah dari Kanjeng Ibu'.

'Kanjeng Ibu' merupakan sebutan hormat kepada Ibu Maria. Masyarakat sekitar Gua Maria Sendangsono, mengatakan:”Sowan Kanjeng Ibu”, saat berziarah atau berdoa di depan patung Bunda Maria. Keluarga mbah Tanu - seperti keluarga-keluarga lain di lingkungan itu - rutin datang ke Gua Maria untuk berdoa. Entah pagi, siang, malam atau sore, sesuai kesempatan. Mereka datang,  setelah melakukan pekerjaan sebagai seorang petani. Doa bersama dalam keluarga menjadi kebutuhan dan kebiasaan. Sebelum dan sesudah makan, sebelum tidur atau pada waktu-waktu selesai kunjungan keluarga. Mbah Tanu putri sering bilang:”Jo lali sowan Kanjeng Ibu”, kepada anak-anaknya. Atau mbah Tanu Kakung akan memberikan berkat dengan membuat ‘Tanda Salib’, pada dahi anak-anaknya saat akan meninggalkan rumah untuk kembali ke tempat kerja, atau sekolah usai liburan.

Doanya sederhana, doa spontan sesuai keperluan, diakhiri dengan Bapa Kami dan Salam Maria. Doa yang agak lama adalah doa sebelum tidur. Doa mengikuti dari buku doa, Kawulo Pitados, Mbangun Keduwung, Mbangun Katresnan dan Mbangun Pengarep-arep. Masyarakat di  daerah itu sejak    masih  anak-anak hafal doa-doa tersebut, karena kebiasaan.

Ecclesia Domestica

Kedekatan mbah Tanu dengan Kanjeng Ibu, kerja keras, dan tanggung jawab sepertinya menjadikan mbah Tanu kakung maupun mbah putri, menjadi tegar dan kuat menjalani hidup, merawat, membesarkan dan mengantar anak-anak menjadi lebih mampu mandiri. Kepedulian mbah Tanu kepada yang lain, seperti juga dilakukan oleh mbakyu-mbakyuku; yu War, mbakyu Wonosobo/Kang Su, dan mbakyu Tony/Kang Sito, yang turut sibuk mengurus dan bertanggung jawab untuk adik-adiknya atau ponakan yang masih sekolah. Aku masih ingat sampai saat ini, saat aku mendatangi kang Su, yang saat itu masih sekolah di SGA Bruderan Purworejo, melihatku kang Su tanya :”ngopo?”, aku jawab dengan bisik-bisik :”njuk duit”. Diulurkan tangannya, memberikan sesuatu dengan pesan:”sinau, jo dolan wae”. 'Belajar, jangan hanya jalan-jalan. 

Minimal adik dan kakang memiliki modal semangat untuk hidup m dan tekad kuat  menyongsong masa depan.

Kepedulian dan pengorbanan yang dilakukan oleh mbah Tanu, rupanya menular kepada ‘Keluarga-keluarga’ keturunannya dalam bentuk lain.

Trah Mbah Tanu saat ini minimal ada 16 Keluarga. Bertepatan dengan pertemuan Trah Mbah Tanu yang ke empat ini, Keluarga Kang To dan mbak Tony, merayakan 50 tahun perkawinan. Dalam kesempatan yang membahagiakan ini, melalui whatsapp mbakyu membagikan syeringnya demikian:” Ini anugerah,  mbak bersyukur, dan akan selalu bersyukur atas berkat dan pertolongan dari Tuhan. Intinya, dalam segala hal, usaha dan doa selalu mbak lakukan, mbak selalu sowan ke Bunda Maria.”

Keluarga-keluarga Trah Mbah Tanu dan Keluarga-keluarga Katolik  lainnya mengingatkanku dengan istilah ‘Ecclesia Domestica’. Keluarga adalah ‘Gereja Kecil”, atau ‘sering dijuluki juga ‘Gereja Rumah Tangga’. Sebagaimana Gereja pada umumnya membawa misi dan mewartakan ‘Kabar gembira’, maka setiap ‘Gereja Kecil’ merupakan ‘tanda penyelamatan’. Menyelamatkan keluarga sendiri, menyelamatkan keluarga-keluarga di lingkungannya. Caranya memang terdengar klasik, tetapi menurut hematku,  ‘Gereja kecil’ harus menjadi tempat yang membahagiakan.  Di dalamnya  ada kehangatan cinta, saling menghormati, ada belas kasih, kasih sayang dan berani saling berkorban dalam ketulusan. Tetapi sesungguhnya agar lebih jelas nanti kita tanyakan ke romo Sony, karena beliau ini ‘Gembala’ kita semua.

Kepada keluaga Kang To/mbak Tony serta keluarga-keluarga Trah mbah Tanu aku ucapkan Proficiat. Semoga menjadi Keluarga seperti Keluarga Nasaret. Menjadi ‘Tanda Kehadiran Allah’ di lingkungannya.

Sehat Bahagia dan diberkati Tuhan.

Kekurangan selalu ada. Ada pepatah yang mengatakan :”Apabila engkau berjalan melewati jalan berlumpur, lihatlah tempat-tempat yang kering, berpijaklah di tempat yang kering itu, agar engkau sampai ke seberang”.

Bersyukur atas Rahmat dan Berkah Tuhan, yang telah kita terima.

Bersyukur  atas bantuan doa dari Kanjeng IBU.

Kang To, Mbak Tony Sugeng Pesta

Bahagia sejahtera Sehat selalu.

Sugeng Pepanggihan Trah Mbah Tanu

Pontianak, Kota Seribu Sungai 19062023