MENJADI PRIBADI YANG PEDULI

ARTIKEL

Br. B. Sukasta, MTB

Tema Aksi Puasa Pembangunan 2023, keuskupan Agung Pontianak adalah Keadilan Ekologis bagi Seluruh Ciptaan. Semakin Mengasihi dan lebih Peduli. Tema tersebut dibahas dalam empat sub tema: Merespon jeritan bumi, Merespon Jeritan kaum miskin/terpinggirkan, Pertobatan Ekologis dan Gaya Hidup (Konsumerisme/Hedonisme serta, Bumi dan segala isinya adalah keluarga Besar dan Rumah Kita.

Fokus perhatian manusia diarahkan kepada empat hal yaitu: Bumi, Kaum Miskin, Gaya hidup dan Bumi sebagai rumah bersama; rumah kita.

Siapa yang mampu merespon, mendengar jeritan, bergaya hidup, kalau bukan manusia seperti kita sekarang ini. Makhluk hidup lain memang mampu merespon stimulus dari luar dirinya, respon mereka sebagai insting. Sebagian hewan, baik hewan air atau hewan darat mampu merespon tanda-tanda alam; seperti misalnya dialami oleh hewan-hewan di lereng gunung berapi atau di tempat rawan bencana alam; gunung Meletus, gempa bumi, tsunami. Meski sebagian hewan memiliki perasaan halus, mereka tidak dapat memilih bagaimana gaya hidup. Hewan-hewan hidup secara alami, tidak berhasrat untuk hidup mewah, kaya, penderma, atau ingin lebih rupawan dari saudara-saudaranya. Sedangkan manusia secara sadar bebas menentukan pilihan. Manusia bebas memutuskan hidupnya untuk kepentingan dirinya semata atau ingin hidupnya bermakna bagi sesama dan alam semesta.

Siapakah manusia?

Kitab Kejadian (Kej. Bab 1-2) menceritakan bahwa “alam semesta” diciptakan dalam waktu enam hari. Setelah semua ada; bumi, langit, tanah kering dan tetumbuhan, hewan, matahari dan bulan, ikan dan segala yang hidup dalam air, dan terakhir diciptakan-Nya “manusia’. Jadi “manusia” sebagai ciptaan “bungsu”. Bahannya diambil dari ciptaan terdahulu yaitu “debu dan tanah”(Kej.2:7). Dengan demikian “manusia” tidak dapat dipisahkan atau mengingkari dirinya ( kalau ada yang ingin), dari alam semesta. Ia adalah bagian dari alam semesta. Ingin lari kemanapun ia tetap saja berbahan debu dan tanah. Meskipun demikian “Pencipta Segala” memberikan perlakuan khusus dan istimewa: “… menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya…”. Dan benda itu menjadi makhluk yang hidup. Saya dan kamu; kita yang ada sekarang ini. Dalam perikop lain, di kisahkan bahwa “manusia” diciptakan menurut “gambar-Nya. Menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan. (bdk. Kej.1:27). Selain itu “manusia” diberkati dan diperintahkan untuk beranakcucu memenuhi bumi dan diberikan hak untuk berkuasa.(bdk.Kej.1:28). Manusia berakal budi. Bukan saja untuk membedakan dengan makhluk ciptaan lainnya, tetapi karena tugasnya untuk “mengatur dunia” ( hak untuk berkuasa ) agar bumi menjadi tempat yang damai bahagia bagi para penghuninya. Bumi dan segala isinya adalah satu Keluarga. Setelah memiliki kekhususan yang dianugerahkan oleh Pencipta, bagaimana kemudian “manusia” menjalani hidupnya di bumi.

Jeritan Bumi dan Kaum Terpinggirkan

Bagaimana Bumi dapat menjerit. Siapa yang pernah mendengarnya, kapan terjadi, bagaimana ia menjerit. Peristiwa-peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan atau area lahan, diartikan sebagai bumi yang sedang menjerit. Menurut para pemerhati lingkungan, peristiwa-peristiwa tersebut terjadi disebabkan pula oleh ulah manusia yang berlebihan. Seperti misalnya penebangan hutan dalam skala sangat luas untuk tanaman industri. Penambangan baik secara sah apalagi yang liar. Jeritan akibat kerusakan alam terjadi pula saat bencana terjadi secara alami, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. Kerusakan akan menjadi lebih parah karena bumi telah dieksploitasi secara tak terkendali. Siapa yang mampu mengeksploitasi bumi, kalau bukan karena akal-akalan manusia untuk kepentingannya sendiri. Eksploitasi besar hanya dapat dilakukan oleh yang mempunyai pengaruh besar pula, yang memiliki harta atau yang memiliki potensi untuk memutuskan sesuatu. Tujuannya jelas agar memperoleh harta yang berlebihan. Dengan dalih apapun. Dalam hal ini selain bumi yang menjerit, warga yang terdampak oleh bencana itu, jeritannya lebih memilukan, meski jeritannya memilukan, sering juga tidak terdengar oleh telinga manusia atau kita. Bukan karena telinga kita rusak tetapi telinga hati tertutup oleh berbagai kesibukan dan kepentingan.

Tanaman industri, aadalah model usaha tanaman dengan jenis sama. Seperti tanaman kayu sungkai, kayu laban, atau kebun kelapa sawit. Dalam jangka panjang tanaman sejenis atau monokultur menyimpan banyak dampak negatif bagi lingkungan. Dalam penelitiannya terkait fenomena perkebunan kelapa sawit, Syarif M. Amin, menyebutkan dampak negatifnya. Antara lain; kontur tanah berubah menjadi datar, akibatnya persediaan air bersih berkurang, lahan usaha petani berkurang. Keanekaragaman hayati hilang. Karena ketersediaan air terbatas maka manusia mengkonsumsi air yang tidak bersih. Mengkonsumsi air yang tidak bersih dalam jangka Panjang, menyebabkan pula tumbuhnya beraneka ragam penyakit pada semua makhluk, termasuk manusia. Pada saatnya fasilitas yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan hanya dinikmati oleh mereka yang berada. Masyarakat kebanyakan baik di desa ataupun di kota dengan pendapatan tidak memadai, akan semakin terdesak dan terpinggirkan. Saat itulah jeritan bumi dan mereka yang terpinggirkan muncul. Terdengar atau tidak tergantung dari seberapa peka perasaan hati manusia, termasuk kita semua.

Pribadi yang Peduli.

Tugas kita, sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Pencipta adalah mau mendengar, berani mengambil inisiatif dan hadir bersama bumi dan mereka yang terpinggirkan. Tidak mudah dan perlu keberanian. Kegiatan-kegiatan seperti ini tidak membawa keuntungan. Butuh kerelaan dan kesediaan. Orang bilang berani berkorban, perasaan, materi dan juga waktu. Waktu untuk diri sendiri, waktu untuk keluarga, atau komunitas.

Mungkin inilah yang dinamakan peduli. Menjadi pribadi yang peduli.

Dalam buku panduan Ibadat Lingkungan Aksi Puasa Pembangunan 2023, selalu tertulis dalam point Refleksi dan Sharing yang berbunyi antara lain sebagai berikut: “Apa tekad atau aksiku secara pribadi menanggapi setiap tema dari yang didalami; Jeritan bumi, Jeritan Kaum terpinggirkan, Pertobatan ekologis dan Bumi sebagai rumah bersama”.

Tekad atau kemauan untuk berpartisipasi aktif menanggapi jeritan dapat dimulai dari diri sendiri dan Keluarga.

Dalam suatu sharing/berbagi pengalaman pada salah satu sesi pendalaman APP 2023 di lingkungan, seorang kepala keluarga mengatakan kira-kira sebagai berikut :”Saya berjanji untuk lebih memahami dan memperhatikan keluarga saya, istri, anak-anak dan anggota keluarga saya”.

Peserta lainnya mengatakan:”Kami akan selalu berdoa bersama dan saling menyapa serta saling menghormati”. Sedangkan seorang ibu menuturkan bahwa akan membuat kelompok untuk bertanam, minimal bertanam di lingkungan rumahnya sendiri. Banyak hal praktis yang dapat dilakukan dalam keluarga. Misalnya mengelola sampah sisa bahan makanan untuk pupuk. Kalau setiap keluarga memiliki berbagai jenis tanaman dalam pot misalnya, dipupuk dengan olahan sisa dapur, dapat dibayangkan bahwa lingkungannya akan menjadi lebih indah, sedap dipandang dan nyaman dihuni. Pot menggunakan kantong bekas. Dengan jenis tanaman misalnya sledri, bawang kocai, cabik/Lombok, sawi, dan lain sebagainya. Tidak berat, dapat dilakukan, mudah dirawat.

Hal-hal baik dalam keluarga akan menjalar ke tetangga, menular ke masyarakat sekitar, menjangkiti sesama warga gereja dan mudah-mudahan menjadikan bangsa dan negara melakukan hal-hal baik pula.

Keluarga Bahagia, tetangga Bahagia, masyarakat Bahagia, warga gereja Bahagia, bangsa dan negara Bahagia. Kemudian pada suatu saat akan terwujud Bumi dan segala isinya menjadi rumah bersama yang membahagiakan.

Menutup refleksi pribadi ini saya mengutip pernyataan sosok seorang Wanita muda, pejuang kemanusiaan dari Pakistan dan saat ini tinggal di Conney Island Brooklyn New York Amerika Serikat, yang menulis : “Saya ada karena mereka berbagi sandwich dan memastikan bahwa di manapun kita tetap hangat. Saya ada karena pelukan mereka, Pembela tanah, aktivis iklim, Pembela hak asasi manusia…”

Kita juga dapat membuat catatan dengan mengatakan:

“Saya ada karena saya bersama Keluarga, saling mendoakan, saling mencintai, mencintai anak, istri, suami dan bersama mereka dalam suka dan duka.

Saya ada karena saya bersama keluarga memperindah lingkungan rumah dengan tanaman-tanaman. Saya ada karena saya berpartisipasi aktif dalam lingkungan, aktif dalam hidup menggereja.

Saya ada karena berusaha keras untuk mampu menjadi pelita di lingkungan masyarakat sekitar tanpa pandang bulu.

Saya ada dan diselamatkan oleh Yesus Yang Bangkit.

Saya Ada ………………………………………………

Selamat Paskah.

Selat Panjang, 27 Maret 2023.