REFLEKSI SEBUAH PERJALANAN
ARTIKEL
REFLEKSI SEBUAH PERJALANAN.
(BR. B. SUKASTA,MTB)
“KepadaMu, ya Tuhan, kuangkat jiwaku . . . (Maz. 25:1)Ketika tiba saatnya, dua puluh lima tahun itu terasa sebagai waktu yang relative pendek. Memang demikian; karena seperti tiba-tiba saja aku telah menjalani hidup sebagai bruder MTB ini selama dua puluh lima tahun. Enam tahun pertama di komunitas Patimura Pontianak, kemudian sepuluh tahun di Sekadau, terakhir untuk menggenapi angka dua puluh lima di Singkawang dan di Pontianak lagi.
Teman esemesanku pernah menulis : “kk rsx sprt mmpi sj y dr hdp ne”, maksudnya “kok rasanya seperti mimpi saja ya der hidup ini”.
Pertama, aku bersyukur dan berterima kasih karena kasih Nya, Tuhan telah menciptakan dan berkenan mendampingi, menyertai hidup dan seluruh perjalanan hidup ini. Terima kasih dan bersyukur karena dukungan doa dari sanak kadang, family /keluarga serta seluruh saudara setarekat.
Sebelum menjadi masuk biara, saya tercatat sebagai anggota sah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Memiliki Kartu Pegawai (Karpeg) dan Nomor induk Pegawai (NIP) dari Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Dua tahun sebelum itu aku mengajar di Yayasan Perum, yang dikelola oleh Keuskupan Agung Pontianak.
“Jadi Pegawai Negeri itu enak, ada jaminan masa depan”, begitu komentar orang, atas statusku itu. Oleh karenanya dapat dimaklumi kalau sampai sekarang banyak orang muda dengan syarat tertentu berusaha sedapat – dapatnya - bahkan jika perlu bersedia mengeluarkan sejumlah duit, dengan ikhlas pula - agar dapat diterima sebagai pegawai negeri.
Maka kalau teman - temanku seperjuangan tempo doeloe, heran dan merasa “sayang,” ketika aku pamitan mau melepaskan ke pe en es an ku, yang telah aku sandang selama masa tiga kali naik pangkat, tidak sulit untuk aku pahami. Apalagi fasilitas sebagai pegawai pemerintah saat itu dapat dipakai untuk “tebar pesona” ( kalau dulu disebut “mejeng” ), kemana-mana pakai motor Honda suzuki 90 ( baca : kredit ). Tidak perlu memikirkan tempat tinggal, karena tersedia rumah dinas untuk kepala sekolah.
Tetangga baik dekat tempat tinggalku, dengan tulus, tanpa pamrih - melihat lajang yang menurut pandangannya dapat bertanggung jawab - bersedia menjadi perantara memantapkan rencana membentuk keluarga seperti lagunya Ebiet G Ade: “Cita-cita kecil si anak desa”.
Bingung juga waktu aku harus menentukan pilihan ; mengikuti suara hati kecil yang aku rasakan timbul tenggelam sejak aku mulai ingat sesuatu (kecil) atau menyetujui tawaran tetangga baikku dengan nasehat :”Mau cari apa lagi.” Lain kesempatan ia bilang:”ia itu cocok untuk pendampingmu.”
Peristiwa - peristiwa kecil aku alami dan kelihatannya sebagai suatu pencerahan pikiran ruwet itu. Beberapa kali aku mengikuti perjalanan imam Kapusin pada kunjungan pastoralnya ke kampung - kampung pada akhir pekan. Pastornya masih muda dan kuat, tetapi juga pernah bersama dengan yang tidak muda dan menurutku tidak perkasa lagi. “Modal apa, hingga pastor sepuh seperti ini mau – maunya jalan naik turun bukit” begitu pikirku suatu saat ketika aku seperjalanan dengan P. Savio, OFM.Cap dalam kunjungan pastoralnya ke salah satu kampung di pedalaman Monterado. Setengah hari jalan kaki untuk pergi. Jalan hutan, melalui semak.
Atau kata motivasi dari salah satu acara renungan pagi “wake up Indonesia” siaran radio Australia yang tak pernah aku lupakan :”nilai tinggi dari atlet senam lompat indah diperoleh dari seberapa ia mampu dan berhasil melakukan gerakan-gerakan sulit” Atau salah satu nasehat tak terlupakan dari guru bahasa jawa ketika aku sekolah di Van Lith: ”Le, pengajining wong urip mono diukur soko sapiro gedening pangorbanane kanggo wong liya”. Artinya kira-kira adalah bahwa mutu hidup seseorang ditentukan seberapa besar bermakna, memiliki pengaruh positif bagi orang lain.
Meski penuh keraguan aku memilih untuk meninggalkan kampung tempat penduduknya menyapaku dengan sebutan “Ru”. (Sapaan bahasa Kanayat’n : “Umpat ka’mae ru” : “Dari mana pak guru”). “Apa kurang baiknya jadi guru”, begitu tanggapan teman serumah ketika aku bilang :” agar dapat berbuat lebih baik kepada orang lain”, mengenai alasan mengapa aku mau masuk biara.
Beberapa teman guru masa lalu yang muslim bertanya tentang apa artinya bruder, yang sealiran bertanya mengapa tidak jadi romo saja atau melayangkan komentar bahwa jadi bruder itu enak. Beberapa kali aku ditanya tentang berapa anak, istrinya dari mana, pekerjaannya apa, sekolah dimana, tamatan apa oleh sesama penumpang bus umum atau taksi yang duduk di sebelahku. Beberapa orang yang kemudian mengetahui jenis manusia apa aku ini; bilang :”kok tidak ada potongan”, atau menasehatiku bahwa hal itu sebagai sesuatu yang tidak normal. Komentar itu suatu saat aku rasakan sebagai gurauan namun disaat-saat tertentu terungkap sebagai ketidaktahuan, bahkan pernah pula aku rasakan sebagai sindiran/ejekan. Reaksiku ya tetap biasa-biasa saja.
Aku merasakan bahwa melalui orang-orang yang pernah aku jumpai, Tuhan menawariku pilihan jalan hidup. Jalan hidup pilihanku itu sudah aku jalani selama seperempat abad. Berjalan seperti biasa. Jadi guru lagi. Dan sampai sekarang masih berkutat dengan hal-hal yang berbau sekolah. Tantangannya jelas lebih berat; karena alasanku waktu aku memutuskan untuk jadi bruder : “agar dapat berbuat lebih baik”. Hal itu sebagai sebuah cita-cita. Cita-cita mesti digantung di langit, begitu pesan almarhum presiden Sukarno. Aku berpendapat bahwa cita-cita itu sebagai salah satu karya Sang Pencipta, yang lebih sering tidak aku pahami; oleh karena itu aku meletakkannya di hadirat Tuhan ( “KepadaMu ya Tuhan, kuangkat jiwaku . . . “ – Mz. 25:1), dengan harapan Penciptalah yang akan mengurus, memberi cara dan menguatkan. Karena aku tahu persis bahwa selama ini meskipun aku biasa-biasa saja dan malahan tidak jarang pula di bawah biasa, Tuhan tetap menyertai seluruh perjalanan hidupku.
Wujud hidup terbentuk dari suatu interaksi sebuah system. Tidak ada wujud hidup yang lahir dari dirinya sendiri tanpa kehadiran wujud lain. Wujud itu merupakan hasil dari peristiwa dan kegiatan-kegiatan serta pengaruh timbal balik selama proses interaksi tersebut berlangsung. Saling berkaitan, saling mempengaruhi, saling kebergantungan. Wujud-wujud itu antara lain, keluarga, potensi diri, media, lingkungan, benda hidup/benda mati.
Atas dasar teori ekosistem itulah aku sekarang ini ada di sini dengan segala keberadaanku; kelemahan dan kekurangannya, baik fisik dan non fisiknya ( tingkat kepekaan, perasaan, pikiran, ketrampilan, cita-cita, dll).
Mengikuti teori itu, kongregasi MTB dapat disebut sebagai salah satu wujud energy yang dalam interaksinya dengan energy-energi lain diharapkan mampu memunculkan dan mengalirkan energy baru dan positif bagi keseluruhan ekosistem/alam raya.
Menjadi bruder MTB, merupakan sebuah pilihan, di dalamnya terkandung konsekuensi dan tanggung jawab. Seseorang akan mampu menanggung konsekuensi dan berani bertanggung jawab atas sebuah pilihan, semata-mata jika orang itu bersedia menerima rahmat Tuhan. Sedangkan rahmat hanya akan diterima kalau ada usaha. Orang bilang: “Usaha perlu disertai doa, dan doa perlu disertai usaha”. Begitu teorinya. Maka menjadi saudara MTB bukan akhir tujuan hidup sebab konggregasi ini sekadar sebuah sarana dan media agar aku dapat mengaktualisasikan diri sebagai pengikut Yesus Kristus, selaras dan seturut teladan St. Fransiskus Asisi dan Bunda Maria, Perawan dan Bunda Allah yang menyebut dirinya “Hamba Tuhan” dalam penghayatan ketaatan, kemiskinan dan kemurnian, seperti yang tertuang dalam Konstitusi Para Bruder Kristiani Santa Maria Perawan Tersuci dan Bunda Allah Yang Dikandung Tanpa Noda.
Aktualisasi diri tidak dapat diukur dan tidak tergantung dari seberapa lama seseorang telah menjalani hidup (dalam biara/berkaul) atau telah memangku jabatan-jabatan tertentu, sebab semua itu sekadar sebuah sarana. Aktualisasi diri itu suatu proses. Jadi benar kata temanku bahwa dua puluh lima tahun tidak masuk dalam buku catatan prestasi.
Kita memerlukan wujud (anggota baru, yunior, medior dan senior) lain untuk dapat menghasilkan energy baru. Sebab hanya dengan saling berinteraksi antara wujud – wujud yang saling berbeda akan tercipta sebuah energy baru.
Ini merupakan sebuah perjuangan. Melalui usaha dan perjuangan tersebut diharapkan dari setiap wujud terpancar energy positif. Energi positif yang asalnya dari Allah itu akan menjadikan diri kita masing-masing dan lingkungannya kita lebih bermakna.
Pontianak, 28 Oktober 2010.
Diolah lagi, Maret 2024
"nar, 16032024. 13.43 Patimura.