S I M B O K

Asih, S.Pd.SD (2021)

TRAH MBAH TANU

Mbah Paschalis

Wong kang seneng ngapusi nanging

Jaminane swargo

     Yaiku simbok

     Saben wayah saben dina

     Direwangi kerja ketekuk ringkel

     Kanggo anak

Awak sayah ora lumrah

Jare wis biasa

yen pinuju olah-olah sisihke lawuh kanggo anak

Kae ana lawuh iwak, ndang maem

Simbok ora patia seneng iwak

Yen pinuju mung sithik olehe olah olah

Enggal maem ngger .....

Simbok ngendika ora luwe

     Pinuju anak lara

     Simbok melek nganti tengah wangi

     Bareng anak nglilir simbok ngendika  

     Wis ndang bubuk sesuk enggal sehat

     Bareng anak wus kerja arep kirim duit

     Simbok ngendika yen isih kagungan duit

     Simbok ngapusi marang lelakone uripe

     Merga tulis tresnane kanggo anak

Puisi di atas menggambarkan sosok simbok (Ibu). Namun, bagi sebagian orang panggilan simbok adalah kata yang kolot dan terlalu ndeso. Bahkan orang Jawa sendiri bila dirinya sudah merasa orang kota saja, tidak tau apa itu Mbok (Simbok); bahkan mungkin juga malu kalau harus memanggil ibunya dengan panggilan simbok... Kalau sudah seperti ini bagaimana coba... kacang lali lanjarane jarene... hehehehe...

Sapaan dan Status Sosial

Koentjoroningrat (1980) seorang antropolog besar menyatakan bahwa ada hubungan antara kata sapaan dengan status sosial dalam masyarakat Jawa. Ada tiga kelas dalam masyarakat Jawa, yaitu kelas atas (keturunan raja, bangsawan, memiliki kekayaan dan pendidikan di atas rata-rata, memiliki pengaruh di masyarakat), kata sapaan yang digunakan memanggil orang tuanya adalah papi & mami, papah & mamah, papi & mami. Kelas menengah akan menggunakan sapaan ayah & ibu, bapak & bunda untuk memanggil orang tuanya. Dan panggilan simbok masuk ke kelompok kelas bawah (bekerja sebagai buruh kasar, penghasilan rendah, tinggal di desa). Kata sapaan yang akrab bagi masyarakat desa.

Saat ini mendengar kata panggilan tersebut sangat langka, bahkan hampir tidak ada, meski begitu, kita masih diuntungkan ketika ada stasiun TV yang menayangkan sebuah sinetron dengan seorang "Pembantu" sedikit tua dan memakai jarik (adat jawa). Nah, itulah baru kita sadari dan mendengar kata simbok. Tetapi bukan hanya itu sekedar sebuah tontonan. Simbok itu harus menjadi "Tuntunan" bukan "Tontonan". Betapa mulianya seorang "Simbok"

TANGAN BIJAKSANA.....TAK PERNAH KENA PROTES........SEMUANYA GEMBIRA

Hidup di desa jauh dari kota tidak pernah terpengaruh dari tersedianya berbagai macam kebutuhan pangan, seperti di kota banyak warung dengan pilihan makanan macam macam; seperti bakmi godhog, nasgor, kentang goreng, ayam bakar, ayam geprek, sate ayam, sate kelinci, sate kambing, bakso cilok, manisan dan masih banyak lagi berbagai jenis makanan seperti sekarang ini. Sekarang ini semuanya sudah mengglobal. Makanan yang ada di kota-kota juga ada di desa-desa, banyak pedagang keliling yang memudahkan kita untuk memenuhi makanan keinginan kita, mau yang sudah masak maupun yang dimasak sendiri.

Di Semagung belum ada warung makanan seperti saat ini. Yang ada hanya warung mbah suro mblabag (sekarang tempat jualan benda benda suci jalan turun menuju parkiran sebelah timur sendang) dikenal sebagai warung geblek. Simbokku beli geblek kalau pulang dari pasar menjual ketela, atau kelapa, atau daun pisang, atau ayam sehingga tidak setiap saat menikmati geblek mbah suro. Apalagi Bapakku tidak pernah pergi ke warung mbah suro. Sehingga makan gebleg ya kalau simboku membeli geblek dan dibawa pulang. Geblek itu dibagi rata untuk seluruh keluarga, sehingga saya dan saudaraku tidak bisa makan geblek dengan ambil sendiri. Saya makan geblek diambilkan simbok. Kalau sudah habis yang tidak bisa minta lagi. Yang masih itu bagiannya saudara-saudaraku. Maka sebagai anak kecil melihat ada geblek milik saudaraku rasanya ingin aku makan semua.

Membagi makanan yang terbatas untuk semua keluarga menjadi hal yang biasa dan bijaksana dilakukan oleh Bapak atau Simbok. Bapaku memelihara ayam cukup banyak. Namun bukan berarti kerap menyembelih ayam. Ketika besar ayam dijual ke pasar untuk kebutuhan membayar sekolah. Apabila Simbokku ke pasar menjual dagangannya dan butuh uang banyak, maka simbokku pulang dari pasar tidak membeli apa-apa. Uang dibawa pulang semua. Maka ketika ditanya:

“Mana jajanannya mbok?”

Simbok menjawab dengan memelukku:

Lagi butuh duwit akeh, simbok ora tuku opo opo, wes iki madhang wae karo jangan lompong!”.

Jawaban Simbok diterima dengan senang hati dan tidak pernah ada yang protes, apalagi menangis teriak-teriak karena ke pasar tidak beli jajanan.

Kembali ke ayam, apabila hari raya Paskah atau Natal, Bapak mesti menyembelih ayam untuk seluruh keluarga. Bapakku memotong ayam kecil-kecil supaya merata untuk seluruh keluarga. Simbok memasaknya dengan bumbu seadanya dan semua saudaraku menunggunya disekitar luweng sampai ayam itu masak dan siap dinikmati.

Setelah masak, Bapak mengajak untuk makan bersama. Simbok menyiapkan cowek, nasi jagungnya dan ayamnya di meja. Semua duduk mengitari meja. Setelah semua siap dimeja Bapak mengajak berdoa sebelum makan. Bapak yang memimpin doa. Setelah berdoa Simbok membagi nasi jagungnya di cowek masing masing, sehingga semua mendapat bagian yang sama. Selanjutnya giliran Bapakku berdiri mulai beraksi tangan terampilnya. Apa yang dilakukan Bapakku: “membagi ayam ke cowek yang sudah ada nasi jagungnya tadi dengan rata”. Setelah semuanya dirasa sudah mendapat bagian yang sama, yang terakhir membagi kuahnya. Tidak ada prioritas baik yang kecil maupun yang besar. Sama bagiannya. Semua anak anak duduk memandang simbok yang membagi nasi, dan mengamati Bapak yang membagi lauknya. Semua diam tetapi senang. Tidak ada suara apapun. Dan ketika Bapakku bilang:

”Wes lek dho mangan!!”

Dengan sigap semua memegang cowek miliknya dan melahapnya. Rasa gembiranya hati ini makan bersama satu meja, bagian yang sama, lauk yang sama, dan bahkan kuah yang sama. Tidak ada kata menambah, karena semuanya sudah dibagi merata dan tidak ada sisanya. Bapakku memandang anak-anak makan dengan gembira. Simbok mengamati satu persatu sampai anak-anak selesai makan.

Akhirnya selesai makan bersama itu dan kegembiraan terpancar di raut muka keluarga Mbah Tanu. Semua merasa puas dan bersyukur hari ini bisa makan dengan lauk ayam rebus.

Bapak Simbok adalah sosok yang bijaksana dan selalu mengajak untuk merasakan apa yang ada disyukuri dan dihidupi bersama sama.

Matur nuwun Mbah.

Penulis: Mbah Paschalis