TENTANG PERTOBATAN
ARTIKEL


Hari Rabu abu telah kita lalui. Saat itu kita menerima abu di dahi; mengingatkan bahwa manusia hanya debu belaka. Meski manusia tidak seberapa artinya dibandingkan dengan “langit, bulan dan bintang – bintang “ – hanya seonggok debu – namun Pencipta “mengingatnya “ , “mengindahkannya” dan “telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat”” (Mazmur 8). Kita pantas berbangga jadi manusia. Tidak jarang manusia justru lupa jati dirinya. Karena kebanggaan dan terlebih karena kesombongannya, manusia terbelenggu dalam alam pikirannya sendiri. Karena keserakahannya kemudian menjadi biang keladi atau paling tidak ikut ambil bagian dalam kehancuran dunia. Minimal dalam lingkungan kita; terutama karena kita hanya berpikir untuk diri sendiri. Lingkungan hidup menjadi rusak (hutan gundul, banjir, isi bumi keluar). Hubungan antar personal tidak harmonis (kasus - kasus nasi aking, kurang gizi, mati kelaparan, putus sekolah). Eksklusif; menganggap dirinya sendiri yang benar dan perlu mempertahannkan hidupnya sendiri, dengan cara apapun.
Abu di dahi mengingatkan kita sebagai orang kristiani yang beriman agar kembali “menaruh perasaan kasih dengan siapa saja, tanpa membedakan latar belakang hidupnya” (Kerangka Dasar APP 2009 – PSE –KWI)
“Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1 : 15).
Bahasan utama dalam masa prapaskah adalah “pertobatan”. Secara sederhana “tobat” dapat diartikan sebagai “berbalik”. Masa prapaskah mengarahkan hidup ini pada jalan “pertobatan”, jalan yang seharusnya dilalui oleh orang – orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus. “Berbalik” dari jalan “kemapanan”. Peduli terhadap situasi sekitar. Bersama menuju jalan yang mampu membangun kesejahteraan alam lingkungan; sesama manusia, lingkungan. Membangun kelestarian makhluk dan alam semesta; manusia dan lingkungannya serta Tuhan sebagai penguasa semua. Kita tidak perlu harus seperti Yesus “ . . . ke padang gurun . . . dan tinggal selama empat puluh hari . . . “ (Mk. 1 : 12 – 13), karena dengan demikian malahan kita tidak dapat berbuat sesuatu. Meski demikian arah jalan ini harus jelas yaitu “mengikuti” teladan dan junjungan kita Tuhan Yesus, “Ke Galilea memberitakan Injil . . .”
Memberitakan Injil, adalah tugas dan tanggung jawab kita semua, tugas umat beriman lebih - lebih yang telah berkesempatan menerima abu pertobatan atau kita yang merindukan keselamatan, apapun keadaanya diri kita ini. Keselamatan tidaklah dapat digapai oleh perjuangan orang perorang tetapi oleh kita bersama, juga oleh semua yang berbeda keyakinan agama dan kepercayaan. Untuk itu diperlukan semangat kerjasama dan saling percaya. Kabar gembira ini mesti nyata dalam kehidupan sehari-hari; dalam hubungan antar personal manusia, antar sesama maklhuk, dan dalam hubungannya dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dirasakan baik dan benar , kalau hubungan dengan sesama manusianya mengarah kepada bebas dari rasa takut, bebas dari saling menguasai, bebas dari saling curiga; kareana segala daya dipersatukan untuk mengusahakan bagi kesejahteran hidup manusia baik lahir maupun batin/jasmani Rohani. Dengan demikian setiap manusia berkembang sesuai dengan citra pencipta, bahwa manusia itu bermartabat , sebagai makhluk utama ciptaan.
Dari mana memulai bekerja dengan banyak tantangan dan merupakan karya besar itu.
Setiap orang berkesempatan mengusahakan “pekerjaan pertobatan” mulai dari membangun niat pada dirinya sendiri, bahwa dirinya merupakan salah satu “sumber kebaikan” bagi sesama dan lingkungannya. Setiap orang memiliki kepercayaan diri bahwa pencipta benar – benar menciptakan dirinya semata – mata karena pencipta melalui dirinya ingin menjadikan dunia ini tempat bagi semua makhluk dapat hidup rukun, damai sejahtera. Dalam keluarga ( suami, istri, anak-anak), dalam komunitas (sesama anggota tarekat) dalam lingkungan kerja (sesame karyawan ), dalam lingkungan kring, paroki, RT/RW, RK, organisasi di lingkungan kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara dan bangsa-bangsa. Tempat sebagaimana digambarkan dalam Injil Markus, 1 : 13, . . . “ Ia berada di sana di antara binatang – binatang liar dan malaikat - malaikat melayani Dia”. Kekuatan kita adalah bahwa sesuai dengan doa Yesus pada Yohanes 17 : 15, kita ini dipelihara , dijaga dan dilindungi.
Ikut berparsipasi aktif dalam lingkungan - lingkungan sekecil apapun – merupakan langkah awal membangun persaudaraan sejati yang dapat memungkinkan terbentuknya kerjasama yang efektif. Dengan terjun langsung ke wilayah kehidupan (pendidikan, kesehatan, CU, kelompok swadaya dan pemberdayaan); sesorang akan mampu memahami situasi dan masalah-masalah kehidupan, adat istiadat, budaya dan harapan – harapan. Dari lingkungan ini terbuka kemungkinan untuk saling mengenal, saling membagi pengalaman, bertukar pikiran, diskusi kemudian membangun kerjasama bagi kesejahteraan bersama. Sejahtera dalam pengertian sesorang atau secara bersama mampu mandiri; mengembangkan potensi dan daya yang dimiliki.
Dengan demikian jalan “pertobatan” ini benar – benar akan menjadi berkat bagi semua, entah siapa dia, sehingga hidup ini – meski sekadar onggokan debu – menjadi tidak sia – sia dan mampu menjadi sarana bagi kemuliaan Allah Bapa di Surga.
Kita serahkan niat kita ini kepada Tuhan yang telah memilih kita, meski kita ini lemah; sebagaimana doa Ester pada saat kesesakan : . . . “Tuhanku, Raja kami, Engkaulah yang tunggal dan tolonglah aku . . . “ (Est. 4 : 11).
Semoga “jalan pertobatan” ini diberkati Tuhan.
Referensi:
1. Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI (PSE – KWI): “Kerangka Dasar APP 2009”.
2. Butir – butir Permenungan Saudara Kelana: Kuntum-kuntum kecil,Sekafi,Jakarta,2007.
3. Majalah Duta No.259 TH.XXXIV, Pebruari, 2009.
4. AL. Purwa Hadiwardoyo MSF, Pertobatan Dalam Tradisi Katolik, Kanisius