TEMBAWANG - BAGIAN 1

CERPEN

Br. B. Sukasta, MTB.

12/5/2023

“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.

Dengan tangan kiri keriputnya, Thiku menyeka keringat yang mengucur pada jidatnya.

Badannya gelap, gosong oleh sinar matahari.

Memandangiku sekilas kemudian mengulurkan tangan menyalamiku. “Gajah, kita’?” Ahe kabar

kamaru’?’ “Baik” jawabku.

Sepuluh tahun yang lalu aku pernah tinggal di kampong ini.

Bertetangga.

Rumah kos ku dan rumahnya bersebelahan. Sekali dua dalam seminggu kami memancing di sungai sebelah rumah. Airnya jernih, ikannya beraneka ragam dan besar-besar. Ikan perolehanku kumasukkan juga di kantong plastiknya.

Malamnya, aku mendapatkan kembali ikan – ikan tadi dalam bentuk yang sudah berbeda, baunya merangsang selera makan. Jumlahnya melebihi perolehan awalku.

Aku memanggil “Uwik” kepada perempuan sederhana murah senyum, yang sering memberiku lodeh ikan, sebagaimana Thiku juga memanggil “uwik” kepadanya. Karena Thiku memang anak pertama dari tiga kakak beradik yang dilahirkan ibu yang baik hati itu.

“Coba kau tele’ bukit naun!” kata Thiku lagi, sambil melemparkan pandangannya kearah bukit di samping kiriku.

Suaranya mengejutkan lamunanku.

                                                      

Inikah Semano dulu? Bukit kebanggaan dan penjaga kesejahteraan kampong tempat aku pernah tinggal, bukan saja untuk kampong tempat aku tinggal, namun kampong – kampong di sebelah barat, selatan atau utara dari bukit yang penuh wibawa itu.

Rimbun, hijau dan menenteramkan.

Pohon – pohonnya rindang dan kokoh. Menyediakan tempat aman dan makanan berlimpah bagi burung-burung lokal; murai batu, punai, keto, buria, bayan, gelatik, pipit, tekukur, uncit, kandang, dan enggang gading; burung berparuh perkasa, bermahkota keemasan,dengan sorot mata tajam, bulunya hitam mengkilat dan putih sutera pada dada serta di sela sayap-sayapnya.

Unggas – unggas lincah itu bebas berterbangan diantara dahan dan ranting – ranting temusu, meranti, belian, bengkirai, kruwing, kamper dan sungkai serta berbagai jenis kayu perkasa lain yang hidup berdampingan dan tumbuh subur di bukit itu.

Pagi hari burung – burung itu berebutan bersenandung dan menjerit menyambut sinar merah kuning emas matahari yang cahayanya menyusup di celah pucuk – pucuk yang menjulang bagai menggapai langit biru.

Induk semangku yang juga “uwik” sering bilang :” burung – burung lebih rajin dari kau”, ketika aku tidak kunjung bangun meski sudah berkali – kali “mama” penuh senyum itu memanggil namaku.

BERSAMBUNG . . .   Baca Bagian 2

TEMBAWANG