TEMBAWANG - BAGIAN 4

CERPEN

Br. B. Sukasta, MTB.

12/8/2023

“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.

Sebuah durian baik; mulus, rata – rata terdiri dari tiga ruang. Satu ruang berisi kurang lebih tiga biji. Biji bagian tengah biasanya lebih gendut. Bukan berarti dagingnya lebih banyak; sebab sering dijumpai bagian ujunglah yang banyak daging buahnya; meskipun kelihatannya lebih kecil; karena bijinya ternyata kecil; kadang – kadang malah bijinya kempes. Makin kecil bijinya makin banyak pulalah daging buahnya.

Tidak terlalu mudah menemukan sebuah durian jatuh, pada awal musim jatuhnya durian (perlu diketahui bahwa durian tidak dipanen dari batangnya, tetapi ditunggu waktu jatuh), karena di bawah pohon – pohon raksasa itu penuh dengan semak.

Semak-semak itu makin hari makin lapang oleh injakan kaki.

Minggu ke dua musim buah durian jatuh, lokasi itu benar-benar lapang, menyenangkan. Anak-anak berebut mencari posisi yang menurut perasaanya akan lebih mudah mengawasi arah jatuhnya buah durian.

Anak – anak yang sedang senang – senangnya bermain itu tidak menghiraukan bahwa hari sudah hampir malam dan harus dibujuk oleh uwiknya agar mau pulang,

Uwik/ibu anak-anak membisikkan kata-kata : “Kita pulang dulu, karena buah-buah di atas itu sedang mempersiapkan diri untuk turun esok hari.”

Orang-orang setengah baya tahu persis bahwa durian masak memilih untuk melepaskan diri dari batang yang mengasuhnya menjelang pagi sekitar pukul tiga atau empat subuh, maka mereka berangkat tengah malam. Sebelumnya ia tidur terlebih dahulu.

                                                               

Dilihat dari batangnya, besar serta tinggi, pohon durian di “tembawakng” itu telah ada sejak tujuh atau delapan generasi.

Bagi orang tua Thiku serta tetangga, musim buah serperti ini merupakan masa untuk menambah penghasilan. Mereka mengumpulkan durian dan buah lainnya. Buah-buah hasil dari kebun itu dipajang pada pondok tepi jalan.

Pengendara mobil, motor atau sopir – sopir truk berhenti untuk membelinya.

Durian yang tidak terjual diolah menjadi tempoyak. Tempoyak tahan lama dapat disimpan dalam jangka waktu lama; berbulan-bulan dan harganya lumayan.

Beberapa lembar uang dapat disisihkan untuk mencukupi kebutuhan dapur pada musim – musim sulit seperti musim merumput padi sawah atau saat hujan turun, karena kegiatan menyadap karet tidak mungkin dilakukan.

“Anak-anakku tidak pernah mengalami masa indah, seperti berenang , berkejaran dan saling menyemburkan air di sungai yang airnya jernih dan melimpah meski di musim kemarau sekalipun.”, kata Thiku memecah kesunyian.

“Mereka juga tidak mengenal bahasanya sendiri, tidak tahu membedakan jenis burung apalagi menyebut namanya, tidak dapat membedakan mana kayu belian dan kayu jonger, tidak paham akan isyarat bunyi burung Keto, tidak tahu cara memasang “bubu” bahkan tidak mengerti perbedaan ikan sepat dengan ikan gabus. Salah mengidentifikasi suara ayam atau suara elang. Tak mampu membayangkan bagaimana bentuk pelanduk apalagi kijang. Tidak mampu memisahkan jenis ilalang dari tanaman padi. Dibilangnya buah rambai padahal ia memegang buah langsat. Diambilnya lengkuas saatt mamaknya meminta serai. Jengkol dengan petai saja mereka bingung memikirkannya”, sambungnya lagi.

Tak mampu mendengarkan musik “Totokng”. Pusing bahkan malu melihat tarian “Jonggan”, ketakutan mendengarkan suara alat musik “Sape”. Bengong melihat “lemang” atau “tumpik”. Tak memahami mengapa perlu ada “Patone” sebelum orang membangun rumah tangga. “.

Tikhu diam beberapa saat, mengambil nafas dalam, melenguh dan mengguman “tak aku sangka, begini jadinya”. “Anak-anakku tak lagi menginjak bumi”.

Temanku Thiku menunduk dan mengusap air matanya dengan ujung baju kumalnya.

Aku memilih memalingkan diri. Tak kuasa aku menyaksikan kesedihannya.

BERSAMBUNG . . .  Baca Bagian 5

TEMBAWANG