TEMBAWANG - BAGIAN 2
CERPEN
“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.
Setiap hari aku menanam pohon di lereng bukit ini, usai aku memuat “jinton” di pasar.”, sambungnya lagi, seraya mengambil bibit pohon kecil.
“Pohon apa ini?”, tanyaku sambil pura-pura mengamati tanaman itu, karena sebenarnya anganku masih mengembara puluhan tahun lalu, ketika dari bukit itu melimpah air mengalir menyusuri lekuk-liku bukit, menembusi lembahnya dan memenuhi kolam-kolam di sisi – sisi rumah penduduk, dan menggenangi parit – parit antara bedengan sawah.
Itik, mentok, angsa dan belibis berenangan, menyelam kemudian berkejaran sambil mengepakkan sayapnya memperebutkan tengkuyung, atau anak “rega” yang diperoleh dari parit-parit di sela-sela sawah atau tegalan itu.
Parit – parit itu mengalirkan airnya ke sungai “Berabas” yang di huni ikan – ikan seperti, gabus, belut, onjing, sepat, kalek , kaloi/gurami - seekor ikan yang beratnya dapat mencapai lima kilogram lebih, harganya juga mahal dan buntal - jenis ikan yang memiliki bentuk pertahanan unik. Ikan buntan akan menggelembukan badannya hingga mirip sebuah bola.
Konon di sungai itu sering ditemukan rajanya ikan toman; sejenis ikan ruan/gabus yang besar dan ganas.
“Ini pohon jering, aku peroleh dari tempat sampah di pasar tadi.” “Kutanam apa saja”.
”Untuk memperoleh bibit pohon; semua biji; dari mana saja aku peroleh, termasuk sisa makanan dari anak/istriku kukumpulkan, kusemai dan kutanam”, lanjutnya.
Kemudian ia mulai bercerita: “Beberapa tahun yang lalu aku mencoba peruntungan dengan menggali dan menyedot tanah di sawah ini, mendulang pasirnya untuk mencari butir-butir emas. Karena hasil dari tanaman padi di sawah atau huma tidaklah seberapa.
“Dompeng” aku pinjam dari “toke” dengan cicilan ringan.
Aku mengumpulkan beberapa teman dekat untuk secara bersama mengoperasikan alat penyedot pasir tanah itu.
Toke tempatku sering “ngebon” keperluan harian berbaik hati dan menawarkan dua buah “dompeng” lagi, dengan perjanjian bagi hasil; enam puluh persen pemilik dompeng dan sisanya kami bagi seberapa banyak pekerja dalam kelompok itu.
Hasil yang kami peroleh rupanya berbeda dengan yang ada dalam angan – angan kami; tidak sebading dengan waktu dan kerja keras.
Sebelum matahari muncul sampai matahari tak kelihatan lagi, kami berkubang lumpur.
Meski demikian kami bersemangat, dengan harapan siapa tahu sebentar lagi akan menemukan induk emas; apalagi tersedia tiga buah alat yang bunyi mesinnya menderu-deru serasa sebuah janji masa depan yang gemilang.
Sesekali kami mendapatkan pasir hitam yang di dalamnya ditemukan butir – butir kemerahan. “Butiran pasir emas”
Itu yang kami cari. Tetangga tergoda, bahkan orang – orang yang tak kukenalpun berdatangan. Seluruh lembah penuh dan dikuasai dengan “dompeng”.
Mendadak lembah ini menjadi riuh rendah; bagai kota “tiban”.
Kedai minuman bermunculan; dari air aqua, arak, tuak sampai martini, jenever, brandi. Pelayan warungnya seperti orang – orang kota. Seksi, berkulit halus, bergincu, alis matanya tebal, rambutnya dikepang, senyumnya lebar dan ramah. Musiknya dangdut dan banyak jenis lagu yang tak kupahami, keras dan tak jelas kata - katanya.
Isi kedai bergoyang-goyang. Riuh menggelegar, meningkahi gemuruh mesin dompeng, sepanjang hari hingga larut malam.
BERSAMBUNG . . . Baca Bagian 3