TEMBAWANG - BAGIAN 6
CERPEN
“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.
Aku pernah belajar bagaimana sikap dan perilaku seorang pengobat.
Pikiran haruslah jernih, bebas dari keinginan menguasai, paham akan tanda – tanda serta isyarat - isyarat alam semesta.
Tanda – tanda itu disampaikan melalui suara-suara burung, desis angin, ranting/batang patah, munculnya binatang tertentu di suatu tempat, kokok ayam pada saat yang tidak tepat, turun hujan pada saat teriknya matahari,atau pada suara tangis bayi menjel;ang malam maupun pada tengah malam.
Tanda alam juga disampaikan dalam bentuk warna; langit cerah, abu – abu, kemerahan dan lain sebagainya.
Selain suara atau warna, tanda juga dapat diketahui dari aroma bau ; wangi, bacin, bau kemenyan, bau bakaran ubi misalnya.
Bau – bau itu bermakna lain sesuai dengan waktu aroma itu muncul.
Bau bunga melati pada pagi hari pertanda bahwa sepanjang hari itu seseorang perlu waspada, meski sebenarnya bau itu bernuansa kedamaian.
Contoh sederhana memahami tanda yang disampaikan alam dalam bentuk warna itu misalnya “langit mendung berwarna kemerah – merahan pada sore hari pertanda bahwa hujan akan turun esok hari.”
Isyarat tanda juga dapat disampaikan melalui sebuah mimpi.
Ya namanya tanda; orang boleh saja mempercayainya.
Tanda – tanda lainnya akan menyusul pada seseorang seiring seberapa besar kemampuan orang perorang memahami getaran – getaran dari alam semesta yang datang menghampiri rasa dan cara mengolah perasaannya.
Karena hubungannya dengan alam lingkungan begitu dekat, maka dikedepankanlah timbang rasa,olah rasa perasaan dan getaran hati dalam memperlakukan bumi, sungai, angkasa dan segala isinya; manusia, binatang, tumbuh – tumbuhan maupun air.
Misalnya saja, sebagai contoh kecil; manusia ikut menjaga telur burung dalam sarangnya, seseorang pantang mengambil telur-telur itu dan ikut melindungi hingga telur-telur itu menetas.
Seseorang tidak akan merampas telur –telur itu dari induknya.
Atau contoh lain bagaimana warga di kampong itu memperlakukan binatang; sesama makhluk hidup; dengan memberi kesempatan induk kera yang menggendong anaknya menyelamatkan diri - kalau saat itu seseorang sedang berburu - , atau pantang menembak induk babi hutan (babi rusa) yang sedang menggiring anak – anaknya masuk semak – semak hutan. Bahkan ibu-ibu yang sedang mencari sayur hutan; rebung, pakis, umbud, atau jamur kayu, harus menghentikan langkah kakinya manakala dalam perjalanannya mendapati barisan semut. Ibu – ibu, gadis-gadis atau anak-anak sekalipun bersedia memberi kesempatan gerombolan semut – semut itu berlalu. Perlu diketahui juga bahwa barisan semut itu kadang – kadang tidaklah pendek.
Anak – anak memperoleh contoh nyata bagaimana berlaku bijak terhadap sesama makhluk dari kakak, uwik, apak, nenek dan kakeknya.
Sejatinya kerusakan lembah dan bukit ini merupakan tanda atau pralambang atau bahkan pemberitahuan bagi yang menyaksikan bahwa tatanan ke - adat – an dan ke – adab – an sedang dalam bahaya.
Suatu isyarat bahwa hubungan “kejatidirian” sedang terbelah.
“Perlu kepekaan hati dan kejernihan pikiran!”, begitu pesannya suatu kali ketika “pengobat” memberiku sebotol kecil air, sepotong batu asam, seruas bamboo buntat.
“Rawat dan gunakan untuk kebaikan!”, katanya lagi.
“Pengobat” sejati memperoleh benda – benda itu dari alam semesta,hasil dari tirakat atau laku tapa, bukan diperoleh dari pemberian orang seperti yang aku alami.
Benda – benda itu masih tersimpan rapi dalam bungkusan kain kuning sampai hari ini. Tak pernah aku menggunakannya. Mencoba memanfaatkannya juga tidak pernah aku lakukan.
BERSAMBUNG . . . Baca Bagian 7