TEMBAWANG - BAGIAN 8
CERPEN
“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.
Dalam seminar, diskusi, pelatihan, atau workshop aku dan beberapa temanku bersemangat berbicara bagaimana kita ini harus dekat dengan orang kecil.
Teorinya lengkap.
Mulai dari analisa SWOT.
Langkah – langkah strategisnya.
Kiat – kiat jitunya.
Sampai – sampai pada suatu ketika para pemerhati masyarakat kecil dan miskin dalam suatu debat serius, kesulitan mencari istilah yang tepat mengenai “menjadi dekat se dekat – dekatnya dengan mereka yang tertindas dan miskin, terbuang, bodo, serta mampu merasakan semua yang dirasakan se - rasa – rasanya yang mereka alami dan rasakan”.
Berjam – jam para ahli itu mencari – cari istilah yang tepat. Kemudian setelah berhari – hari dan menghabiskan jatah energi barulah ditemukannlah istilah kalau diucapkan dalam bahasa Indonesia kira – kira “tergila-gila”.
”Passion” : teriaknya. “Ya passion”,serunya lagi sambil mengacung-acungkan ibu jarinya.
Semua peserta seminar bertepuk tangan.
Mereka merasa telah dekat sedekat-dekatnya dengan para pasien yang mesti dibelaskasihani, diperhatikan, diperjuangkan. “Okelah kalau begitu, okelah kalau beg,beg,beg”.
Itupun masih harus didalami lagi, diperdebatkan, didiskusikan dalam pertemuan – pertemuan berikutnya dan dalam jangka waktu yang tak terukur.
Ironis juga, semakin sering para penggemar diskusi, seminar, workshop, pelatihan, berkegiatan membahas kemiskinan atau lingkungan, makin luas pula wilayah kerusakan lingkungan.
Masalahnya adalah bahwa seminar dan sejenisnya itu, oleh sebagian peserta dijadikan tujuan. Semestinya workshop dan seterusnya itu sekadar sarana untuk lebih memiliki pengetahuan dalam aksinya di dunia nyata.
Dunia yang tak terkenal, tersembunyi dan tak terberitakan.
“Apak, pulakng dohok!, ja uwik”. Suara gadis kecil dari belakang kami.
Thiku terbangun. “Nian anakku yang ke empat”, katanya padaku. “ “Salaman dulu, nian ayukng apak”. Kusalami anak itu, kemudian ia lari mendahului.
“Ayo kerumah dulu!”.
Aku mengikuti langkahnya
Rumahnya masih seperti dulu. Dinding papan, atap daun sagu.
Istrinya kemudian keluar membawa dua cangkir kopi. Aku langsung mengenal siapa dia ketika aku menatap wajahnya. Tapi ia lupa – lupa ingat melihatku. Tiba-tiba ia berucap seperti ingat sesuatu: “Donok kita’”, Di mae kita’ badiapa?.
Aku mendengarkan cerita suami istri itu.
Cerita tentang masa lalu.
Tentang anak pertamanya yang tidak mau meneruskan sekolah, karena sudah punya pacar.
Tentang niat anak keempatnya yang ingin mengikuti tantenya menjadi suster, sambil menunjukkan foto berbingkai seorang suster yang dipajang di dinding di sebelah kanan tempat duduk kami.” Ini suster, adikku yang dulu pemalu itu”, kata istri Thiku.
Tentang adik iparnya Thiku punya cerita banyak. Bahwa ia itu punya kebiasaan aneh. Kalau libur, ia mengajak keponakannya mengumpulkan semua jenis biji yang ditemui di jalan atau di rumah saudara-saudaranya. Biji durian, rambai, langsat, nangka, petai cina, rambutan; “Apa saja”, katanya bersemangat.
Biji atau buah temuannya dibawa ke rumah. Ditaruh pada nyiru , dibuangnya kotoran – kotoran yang melekat dengan air, kemudian diangin – anginkan.
BERSAMBUNG . . . Baca Bagian 9