TEMBAWANG - BAGIAN 7

CERPEN

Br. B. Sukasta, MTB.

12/13/2023

“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.

Yang sering terlintas dalam benakku, ketika aku melihat bungkusan itu adalah bahwa air, tanah dan segala isinya mesti kita jaga, dimanfaatkan semata – mata bagi kebaikan, bagi kelangsungan hidup manusia, juga bagi kelestarian alam itu sendiri.

“Ranting kayu, air dan batu ini saling melengkapi”, katanya lagi.

“Tak bermaknalah jika kau berusaha memisahkan satu dengan yang lain”, pesannya kemudian.

Aku sering bertanya dalam hati : “siapa seharusnya dan bagaimana cara menjaga alam raya yang luas dan besarnya melampaui rasa perasaan ini?”

Karena aku berani mengatakan untuk diriku sendiri, bahwa ini bukan sekadar masalah olah pikiran atau pekerjaan otak manusia.

Kalau bukit itu sekarang telanjang dan menggigil, parit dan sungainya menjadi sarang tikus, adakah yang masih mempedulikan.

Kearifan dalam memperlakukan alam sudah terkikis dan menjelang musnah.

Mata hati manusia tertutup oleh nafsu keserakahan.

Aku tahu pasti bukanlah Thiku,  temanku itu yang serakah, ia semata-mata korban.

Korban dari nafsu tak terkendali.

Nafsu dari siapapun; yang berhubungan baik langsung maupun yang tidak langsung, seperti mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengambil kebijakan dengan objek perusakan yang saat ini sedang terjadi atau yang sudah terjadi bahkan kerusakan – kerusakan lingkungan yang akan terjadi, entah siapapun dia orangnya. Berpendidikan tinggi, atau sekolah dasarpun tidak , awam ataupun yang mengaku diri religius sekalipun.

Alasannya adalah barang siapa yang berpangku tangan menyaksikan proses kehancuran kehidupan, tidak mau ambil peduli, bahkan untuk mau sekadar berpikir sedikitpun tidak mau, ia masuk dalam kumpulan pelaku kehancuran.

Dihadapan Thiku, kerabat dekat yang sering mengajakku memancing, menangkap belut atau katak di sawah yang baru saja dibakar rumputnya atau mengajariku cara membuat dan memasang jerat tupai itu,  aku jadi seperti orang impoten dan mandul.

Pernah pada suatu kali ia bilang begini :”Sudah kau kelilingi pulau – pulau untuk mengikuti seminar, diskusi, workshop, studi banding; belajar tentang lingkungan hidup, apa yang pernah kau buat di bekas bumi pijakanmu ini?”, “Untuk apa pengalaman dan pengetahuanmu?”. “Tanggunganmu akan lebih berat, justru karena kau tak melakukan sesuatu dengan ilmu yang kau peroleh”.

Menyaksikan lembah dan bukit yang kini kering dan panas ini perasaan hati jadi miris dan galau.

Sama galaunya dengan pikiran dan perasaan kenalan yang sekarang menjadi seperti saudara ini.

Bukan saja kulit luar lembah dan bukit ini yang kemudian menjadi seperti penderita kurap akut; tetapi juga limbah air keras yang dipakai ini yang kemudian menjadi masalah bagi kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup.

Aku tahu bahayanya limbah air ra’sa yang digunakan untuk memurnikan emas oleh penambang itu. Jika jatuh ke air akan memunculkan reaksi lanjutan.

Kemudian jika terurai oleh bakteri akan menjadi senyawa beracun, disebut metal mercury rumus kimianya CH3Hg, yang mampu menggangu kinerja syaraf tubuh manusia.

Seperti pernah diberitakan terjadi di daerah Buyat, Sulawesi dan Minamata, Jepang.

Masalahnya siapa yang mesti bertanggung jawab mengendalikan peredaran air raksa agar tidak sembarang orang dapat memperolehnya seperti membeli garam atau terasi.

Atau siapa yang sudi mengarahkan cara bercocok tanam atau bermata pencaharian yang benar dengan tidak merusak lingkungan?

Memberikan alternative bagaimana memberdayakan mereka yang serba terbatas sehingga mereka menjadi berdaya?

Pemerintah?, Pengawas Lingkungan? Atau Pemerhati Lingkungan?, Bruder, Suster atau Pastor pengikut Fransiskus Asisi?

BERSAMBUNG . . . Baca Bagian 8

TEMBAWANG