TEMBAWANG - BAGIAN 9
CERPEN
“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.
“Coba kau tengok”, kata Thiku sambil mengajakku ke belakang rumah. Satu deret bibit kelapa, satu petak berbagai tanaman kecil yang tumbuh dari media semai dalam plastik - plastik bekas, tertata rapi.
Bahwa Thiku pernah dimarahinya, ketika ia bertanya “untuk apa kamu kumpulkan biji-biji tak berguna itu?’
Bahwa ia sendiri – adik iparnya yang suster itu - kemudian menanam bibit – bibit itu pada masa libur tahun berikutnya, dan menasehati bahwa menanam pohon merupakan cara untuk membangkitkan harapan. Harapan bagi keluarga, istri dan anak – anak.
“Pada awalnya saya tersinggung”, kata sahabatku itu. “Lha yang membiayai sekolah sampai tamat SMA kan saya, kok sekarang malah marah dan menasehati”, imbuhnya.
“Pernah suatu ketika, tidak aku hiraukan saat adikku itu pulang liburan”, ceritanya lagi. “Tetapi tetap saja ia mencari biji – bijian dan menyemainya”, tambahnya.
Bahwa ia pernah berpikir: “kapan dapat memetik hasilnya, kalau tanaman kecil itu baru ditanam sekarang, sementara umurnya sudah berkepala lima”.
Tetapi kemudian ia terkejut ketika adik iparnya itu tiba – tiba bilang: “kalau abang berpikir menanam pohon buah ini suatu pekerjaan sia – sia, karena tidak akan memetik buahnya, itu berarti bahwa benar abang ini seorang yang hanya mementingkan diri sendiri. “Tahukah abang bahwa “tembawang” di bukit yang sekarang sudah hilang itu dulu juga ditanam oleh nenek datuk, kita?” “Takkanlah pohon – pohon buah itu ada dengan sendirinya”.
“Sejak saat itulah aku sadar, bahwa berdosalah diri ini kalau tahunya hanya menghabiskan bahkan merusak peninggalan para leluhur” sambung Tikhu. “Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.
“Menanam pohon itu salah satu usaha mengembalikan jati diri alam sejati. Hubungan dengan alam semesta terjalin, terbuka pula hubungan dengan “Pencipta Alam Semesta”. Alam semesta bagi Tikhu adalah dirinya sendiri, keluarganya (anak/istri), tetangga, orang – orang yang dijumpainya, binatang, tanaman, air, tanah, udara, bintang, bulan dan matahari dan juga rasa dan pikirannya.
Kemudian ia menoleh ke arah foto di dinding dan berkata :”Tidaklah sia – sia adik iparku ini menjadi suster”. “Aku merasakan ada roh yang membakar dan menyalakan semangat hidup”, “Dulu aku pikir, apalah jadi suster, apa yang diperjuangkan?”.
Dalam foto itu terlihat bahwa suster “Erlly” , begitu ia memanggil adiknya; seorang Fransiskanes. Latar belakang foto itu adalah patung St. Fransiskus Asisi, berdiri di bawah pohon rindang , dua ekor burung hinggap di bahu dan pada lengan kanannya yang menjulur.
Beberapa ekor binatang mengelilinginya.
St. Fransiskus Asisi, Pelindung Alam Raya.
Perjumpaanku dengan keluarga Tikhu kurasakan sebagai pertemuan bermakna.
Pertemuan yang menggugah, pikiran, perasaan dan juga hati. Pertemuan yang melahirkan harapan. Seperti halnya temanku Tikhu yang tersentuh hatinya karena perilaku adik iparnya, yang mau dan mampu membawa orang yang dijumpainya memiliki semangat hidup penuh harapan.
Adik ipar itu memberi contoh nyata, sederhana, pantang menyerah dan tak terduga.
Tikhu memperoleh inspirasi dari seorang penganut cara hidup aneh, tetapi yang berkembang menjadi pribadi inspirator.
Orang – orang yang mendedikasikan dirinya seperti Maria Sherllyany itu tidak sedikit.
Laki – laki atau perempuan.
Kalau orang – orang pilihan ini mau keluar dari ikatan belenggu kemapanan dan berani melepaskan hasrat hidup aman dan nyaman, niscaya Gereja akan tetap tegak berdiri.
TAMAT.
Modifikasi dari cerita asli “AIR MATA DI TANAH KERONTANG”.
(Dinus Kasto, MTB)
04122023. Selat Panjang