TEMBAWANG - BAGIAN 3

CERPEN

Br. B. Sukasta, MTB.

12/7/2023

“Akan ku hijaukan lembah dan bukit gundul itu, sehingga anak cucuku tahu bahwa aku, bagian tak terpisahkan dari bumi dan nenek datuk yang telah mendahului, memiliki roh yang menghidupkan dan menghidupi”.

Semangat “bermain dompeng” itu tak pernah kendor. Tak pernah aku merasa bosan atau lelah.

Angan dan pikiran berkristal emas. Lumpur di lembahnya bagai bubur emas dan bukitnya serasa tumpukan emas, melambungkan harapan dengan tak terkira, hingga melebihi tingginya langit biru tempat kediamannya para ‘Jubatta’.

Mulailah kami mengkapling lembah dan bukit itu, bukan saja penduduk biasa, pejabatpun , tak ketinggalan pula aparat.

Para pemegang kendali wilayah itu menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh jatah kaplingan, menyewakan dompeng dan mengawasi segala gerak – gerik kami sebagai operator “dompeng”.

Jadilah kami pekerja rodi di tanah milik sendiri; berangkat dari rumah, mulai kerja, istirahat, minum, ganti baju, buang air kecil, duduk, hingga pulang, tak lepas dari intaian pemilik uang yang memberi kami pinjaman “dompeng”.

Kami; para pekerja terjebak. Terkurung dalam lingkaran ikatan kewajiban. Tak dapat berhenti begitu saja karena terikat oleh kontrak sewa alat, dan keharusan membayar bon – bon keperluan harian; gula, kopi, beras, garam, rokok, arak, ikan asin, belacan, bawang, bahkan kadang – kadang juga pakaian.

Pekerja – pekerja itu; aku, keponakan-keponakanku dan tetangga-tetanggaku ialah pewaris pertama dari lembah dan bukit itu, juga pemuda – pemuda tanggung yang memilih tidak melajutkan sekolah dengan alasan yang “sekolah”pun tak jadi “pegawai”.

Ia mengakiri ceritanya, mengambil “tajak” dan mulai lagi menanam pohon rambai, asam Kalimantan, kayu belian dan jenis – jenis tanaman lain di kaki bukit yang telah berubah menjadi padang tandus itu.

Angin berhembus, lembab, panas, membuat badan terasa semakin gerah.

Ku ingat benar bagaimana aku dan Tikhu merayakan dan ikut meramaikan masa – masa musim buah. Sekitar bulan Agustus, September, bukit itu ramai didatangi orang.

Pondok-pondok beratap daun rumbia didirikan, Api dari ranting – ranting kering dinyalakan. Asapnya menjulang bagai memberi isyarat bahwa musim buah sudah tiba.

Selama kurang lebih satu bulan bukit itu meriah.

Malam ramai apalagi siang atau sore hari. Anak – anak kecil, remaja putra/putri, ibu-ibu, bapak – bapak, kakek – nenek, berdatangan, juga dari tetangga kampong, banyak pula pengunjung yang datang dari kota; menunggu dan mencari durian jatuh dari “tembawakng” di bukit itu.

                                                                 

Bagi yang tidak ada sangkut pautnya dengan nenek datuk yang memiliki “tembawakng” di persilahkan mengambil atau meminta sesuai dengan seberapa banyak ia mampu memakannya.

Kebun buah warisan itu luas, dengan aneka buah local ; durian, manggis, langsat, cempedak, rambutan, pekawai, rambai, ucunkng, belitik, angkaham, ankalukng, jatak, kelapa, kapayakng; adalah milik bersama, peninggalan nenek datuk. Tidak ada yang mengatakan bahwa kebun ini milikku.

Dengan bergotong royong penduduk merawat kebun buah itu, hasilnya untuk bersama.

Makin rajin mengunjungi tembawakng, makin banyak pulalah perolehannya.

Untuk memperoleh durian jatuh, penunggu harus berebut. Tidak ada kata malu untuk “merebut” sebuah durian yang jatuh. Sekali durian jatuh dan sudah terpegang oleh yang saat itu beruntung; “adu ketangkasan” berhenti, menunggu durian jatuh berikutnya.

Yang belum beruntung boleh memegang dan membauinya. Tua muda, laki, perempuan, anak-anak bebas “unjuk kebolehan” dan siap untuk sekedar memegang atau membaui dulu.

Sama-sama tertawa atau bereriak kegirangan karena telah menemukan buah berduri yang isinya berwarna kuning keemasan, lunak dan baunya membikin jakun naik turun.

Tiga atau empat durian pertama jatuh biasanya “dicicipi” bersama. Yang beruntung mendapatkannya, berlari – lari kecil sambil menggoyang – goyangkan hasil tangkapannya, jongkok, kemudian membelahnya; yang lain mengerumuni.

BERSAMBUNG . . .    Baca Bagian 4

TEMBAWANG