MENYONGSONG MASA TUA YANG MEMBAHAGIAKAN BAGIAN KE 11

KESEHATAN MENTAL

ARTIKEL

BR. B. SUKASTA, MTB

6/20/2024

MENYONGSONG MASA TUA YANG MEMBAHAGIAKAN

BAGIAN KE 11

BR. B. SUKASTA, MTB

KESEHATAN MENTAL

Menjalani hidup dengan aktivitas yang menggembirakan hati, Ikhlas, tekun, focus dan rutin setiap hari membawa sesorang merasa damai. Damai dengan diri sendiri berpengaruh pula pada hubungan kita kepada sesama, baik sesama dalam satu komunitas, atau tetangga rumah dan masyarakat di lingkungan yang lebih luas. Itu pendapat saya pribadi. Dengan focus pada aktifitas yang saya lakukan, pikiran saya tidak terpecah, dan menyasar ke hal-hal lain di luar kendali saya. Misalnya kemudian saya ingat kepada orang-orang yang pernah menyakiti atau membuat hati saya kecewa. Pikiran tidak focus, dapat pula membawa lamunan kita pada masalah-masalah kegagalan yang pernah kita alami. Situasi akan menjadi lebih berat, apabila masalah-masalah yang pernah kita alami belum dapat diselesaikan, secara pribadi. Hal demikian akan menjadi halangan untuk aktivitas-aktivitas positif dan produktif yang sebenarnya dapat kita lakukan, karena kita tenggelam pada memikirkan diri sendiri, atau bahkan menyalahkan orang lain atau situasi.

Hati damai, memudahkan seseorang bersosialisasi dengan sesama manusia, siapapun. Hubungan dengan sesama menjadi lebih harmonis. Hubungan yang harmonis memberi kemungkinan untuk berkomunikasi secara terbuka. Memungkinkan pula untuk saling bertegur sapa. Sikap hati terbuka tanpa membedakan status, menerima kelemahan diri dan mampu menghargai orang lain serta mudah mengampuni, memberikan ruang sehat bagi diri sendiri, juga bagi orang lain. Sehat jasmani dan sehat jiwanya.

Kesehatan mental kaum biarawan atau biarawati, menurut pengamatan saya, lebih pada disebabkan oleh terkendalanya komunikasi antar para saudara; antar anggota. Itu pengamatan saya di lingkungan tempat tinggal atau komunitas – komunitas yang pernah saya tinggali. Konflik antar kepentingan pribadi di komunitas memang tidak dapat kita hindari. Masalahnya adalah bahwa, apakah kita sendiri mampu mengolah konflik menjadi dorongan untuk lebih berdaya guna, terutama apakah konflik tersebut dapat membawa persaudaraan dalam komunitas menjadi lebih kondusif. Perlu kesabaran dan berani rendah hati.

Kesehatan mental dapat pula dipengaruhi oleh besarnya dominasi sesoarang kepada yang lain. Tidak mampu saling mendengarkan, ngeyelan, selalu membenarkan diri sendiri, gemar mengeluh atau bahkan disebabkan pula oleh beban pekerjaan yang telalu berat. Factor lain misalnya saja tidak ada dukungan; baik mental spiritual dari para saudara setarekat. Menjadi lebih parah karena yang bersangkutan tidak menyadari tabiatnya. Hal-hal tersebut menjadikan seorang saudara, merasa kesepian, terasingkan, merasa sendiri, bahkan tidak sedikit kaum biarawan atau biarawati yang merasa dibuang atau tidak diperlukan lagi. Kalau masalah itu terbawa sampai pada masa tua, seorang saudara akan menjadi – yang dalam istilah kami – disebut ‘orang sulit’. Menyendiri, tidak mampu bergaul dan lebih banyak berkata atau berbuat, serta bertingkah laku ‘nyleneh’ dan lebih banyak ‘menyusahkan’ sesama saudara yang tinggal satu komunitas. Orang lain akan menyebutnya ‘Tabiat seseorang yang ‘miskin cinta’.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 12